Dalil-dalil di bawah ini sering digunakan orang-orang
yang membantah tentang sampainya pahala dari seorang muslim yang masih hidup
kepada muslim lainnya yang telah meninggal :
PERTAMA
Kata
mereka, dalam Al-Qur’an ada ayat yang berbunyi :
وَأَن لَّيْسَ لِلْإِنسَانِ إِلاَّ مَا سَعٰى
dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh
selain apa yang telah diusahakannya. (Q.S. 53 An Najm 39)
Mereka
mengatakan bahwa ayat ini telah terang dan jelas, bahwa manusia tidak akan
memperoleh pahala dari amal orang lain, kecuali yang ia usahakan sendiri.
JAWABAN
Pengarang
tafsir Khazin berkata : “Yang demikian itu adalah untuk kaum Ibrahim dan
Musa. Adapun umat Islam (Umat Nabi Muhammad saw,) maka mereka bisa mendapat
pahala dari usahanya dan juga dari usaha orang lain”.
Sebenarnya
dalam mengajukan dalil harus jujur, jangan mengelabui mata orang, dan jangan
mengambil dalil sepotong-sepotong saja. Pangkal ayat ini seluruhnya
berbunyi :
أَمْ لَمْ يُنَبَّأْ بِمَا فِي صُحُفِ مُوْسٰى. وَإِبْرَاهِيمَ الَّذِي وَفّٰى. أَلَّا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى. وَأَن لَّيْسَ لِلْإِنسَانِ إِلاَّ مَا سَعٰى
Ataukah belum diberitakan kepadanya apa yang ada
dalam lembaran-lembaran Musa?, dan lembaran-lembaran Ibrahim yang selalu
menyempurnakan janji?, (yaitu) bahwasanya seorang yang berdosa tidak akan
memikul dosa orang lain, dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain
apa yang telah diusahakannya. (Q.S.
53 An Najm 36 - 39)
Di dalam tafsir Thabari
dijelaskan bahwa ayat tersebut diturunkan tatkala Walid ibnu Mughirah masuk
Islam diejek oleh orang musyrik, dan orang musyrik tadi berkata; “Kalau
engkau kembali kepada agama kami dan memberi uang kepada kami, kami yang
menanggung siksaan-mu di akherat”.
Maka Allah swt, menurunkan ayat di atas yang menunjukan bahwa seseorang tidak bisa menanggung dosa orang lain, bagi seseorang apa yang telah dikerjakan, bukan berarti menghilangkan pekerjaan seseorang untuk orang lain, seperti do’a kepada orang mati dan lain-lainnya.
Sayidina
Ibnu Abbas ra, sahabat sekaligus sepupu Nabi saw, yang mendapat do’a langsung
dari Rasulullah saw, agar memperoleh kemampuan untuk menafsirkan Al-Qur’an menyatakan
: “Ayat tersebut telah dinasakh (dibatalkan) hukumnya dalam syari’at dengan
firman Allah swt, ‘Kami hubungkan
anak cucu mereka dengan mereka’, maka
dimasukkanlah anak ke dalam surga berkat kebaikan yang dibuat oleh bapaknya”. (Lihat
tafsir Khazin).
Secara
utuh ayatnya berbunyi :
وَالَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِّيَّتُهُم بِإِيْمَانٍ أَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَمَا أَلَتْنَاهُمْ مِّنْ عَمَلِهِمْ مِّن شَيْءٍ كُلُّ امْرِئٍ بِمَا كَسَبَ رَهِيْنٌ
Dan orang-orang yang beriman, dan yang anak cucu
mereka mengikuti mereka dalam keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka dengan
mereka, dan Kami tiada mengurangi sedikit pun dari pahala amal mereka.
Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya. (Q.S. 52 Ath Thuur 21).
KEDUA
Ada orang yang mengajukan
dalil yang membatalkan hadiah pahala dengan ayat ini :
لاَ يُكَلِّفُ اللهُ نَفْساً إِلاَّ وُسْعَهَا لَهَا مَا كَسَبَتْ
وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ
Allah tidak
membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesang-gupannya. Ia mendapat pahala
(dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang
dikerjakannya. (Q.S. 2 Al Baqarah 286)
Mereka
berkata : Lihatlah ayat ini yang menerangkan bahwa setiap orang hanya mendapat
apa yang diusahakannya, dan ia mendapat hukuman dari kejahatan yang
diperbuatnya. Usaha orang lain tidak akan didapat pahalanya, dan kejahatan
orang lain tidak akan dipikulkan dosanya.
JAWABAN
Mereka keliru dalam mengartikan ayat
ini, kata-kata لَهَا مَا كَسَبَتْ menurut ilmu
balaghah tidak mengandung unsur hars (pembatasan). Oleh karena itu
artinya cukup dengan : “Seseorang mendapatkan apa yang ia usahakan”.
Kalaulah artinya demikian ini, maka
kandungannya tidaklah menafikan bahwa dia akan mendapatkan dari usaha orang
lain. Hal ini sama dengan ucapan : “Seseorang
akan memperoleh harta dari usahanya”. Ucapan ini tentu tidak
menafikan bahwa seseorang akan memperoleh harta warisan dari orang tuanya,
pemberian orang kepadanya atau hadiah dari sanak familinya dan para sahabatnya.
Lain halnya kalau susunan ayat tersebut mengandung hasr (pembatasan) seperti
umpamanya : لَيْسَ لَهَا اِلَّا مَا
كَسَبَتْ
“Tidak ada baginya kecuali apa yang dia
usahakan atau seseorang hanya mendapat apa yang ia usahakan”.
KETIGA
Mereka
mengemukakan hadits shahih riwayat Imam Muslim yang berbunyai :
اِذَا مَاتَ ابْنُ اَدَمَ اِنْقَطَعَ عَمَلُه۫ اِلاَّمِنْ ثَلاَثٍ : صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ اَوْعِلْمٍ
يُنْتَفَعُ بِه۪ اَوْوَلَدٍصَالِحٍ
يَدْعُوْلَه۫. رواه مسلم
“Apabila anak Adam mati, putuslah amal perbuatannya
kecuali tiga perkara; shadaqoh jariyah, ilmu yang dimanfa’atkan, dan anak yang
sholeh yang mendo’akan dia.” (H.R.
Muslim).
Mereka
mengatakan dengan dasar hadits ini, maka seseorang yang telah meninggal dunia
tidak dapat menerima pahala yang disampaikan kepadanya dari orang lain, kecuali
tiga hal di atas.
JAWAB
Tersebut
dalam syarah Thahawiyah bahwa sangat keliru berdalil dengan hadist
tersebut untuk menolak sampainya pahala kepada orang yang sudah mati karena
dalam hadits tersebut tidak dikatakan : اِنْقَطَعَ اِنْتَفَعُه۫ (terputus
keadaannya untuk memperoleh manfaat). Hadits itu hanya mengatakan اِنْقَطَعَ عَمَلُه۫ (terputus amalnya)”. Adapun amal orang lain, maka itu adalah milik (haq)
dari amil, jadi bila orang yang mengamalkan itu memberikan kepadanya, maka akan
sampailah pahala orang yang mengamalkan itu kepadanya. Hal ini sama dengan
orang yang berhutang lalu dibayarkan oleh orang lain, maka bebaslah dia dari
tanggungan hutang. Akan tetapi bukanlah yang dipakai membayar hutang itu
miliknya. Dengan terbayarnya hutang itu maka dia telah memperoleh manfaat
(intifa’) dari orang lain.
Mungkin
hanya ini yang dapat kami tampilkan dalil-dalil sanggahan mereka (orang-orang
yang menganggap hadiah pahala yang kita sampaikan kepada orang yang telah
meninggal tidak sampai, bahkan menganggapnya bid’ah sesat), untuk mengetahui
pembahasan bid’ah secara panjang lebar dapat membaca di tulisan kami yang
berjudul : “Meluruskan pemahaman bid’ah”.
Berapapun
mereka mengemukakan dalil sanggahan, maka kita dengan mudah untuk menangkisnya
disebabkan mereka dalam memahami dalil hanya secara letterlek (harfiyah) saja,
tanpa menghubungkan dengan dalil-dalil lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar