Jumat, 24 Juli 2015

tabarruk dengan mencium mimbar dan kubur Nabi



       Keterangan di bawah ini menjelaskan kepada kita bahwa diperbolehkannya tabarruk dengan mencium mimbar dan kubur Nabi :



Dalam kitab At-Thabaqat yang disusun oleh Ibnu Sa’ad Abdurrahman bin Abdul Qadir mengatakan: “bahwa ia melihat  Abdullah bin Umar Ibnul Khattab ra. bertabarruk dengan mengusapkan tangannya pada tempat duduk Rasulullah saw. yang berada di mimbar beliau, kemudian mengusapkan tangan itu pada wajahnya”. Dalam riwayat yang lain lagi, Abdurrahman mengatakan; “bahwa ‘Abdullah bin ‘Umar juga mengusapkan tangannya pada bagian mimbar yang dahulu sering dipegang oleh Rasulallah saw”.

Ibnu Taimiyah mengemukakan sebuah riwayat berasal dari Ahmad bin Hanbal, bahwa ia (Imam Ahmad) membolehkan orang mengusap mimbar dan rumanahnya (benda bulat dari kayu yang berada di atas mimbar kuno, tempat berpegang pada saat orang sedang berkhutbah). Ibnu Taimiyah juga meriwayatkan bahwa “Ibnu ‘Umar, Sa’id bin Al-Musayyab dan Yahya bin Sa’id (salah seorang ulama Fiqih di Madinah) semuanya pernah melakukan hal seperti itu”. (Syaikh Ibn Taimiyah, Iqtidha’ Al-Shirath Al-Mustaqim 367).

Dinukil dari Syeikh Al-Allamah Ahmad bin Muhamad Al-Maqri (Al-Maliki) –wafat tahun 1041 H, dalam kitab Fathu Al-Muta’al bi Shifat An-Ni’al, dinukil dari Waliyuddin Al-Iraqi yang menyatakan: Al-Hafidh Abu Sa’id bin Al-‘Ala menyatakan: Aku melihat ungkapan Ahmad bin Hanbal pada cetakan/bagian lama (juz qodim) dimana terdapat tulisan tangan Khath bin Nashir (Beliau adalah Al-Hafidh Muhammad bin Nashir Abul Fadhl Al-Baghdadi wafat tahun 505 H dimana Ibnu Jauzi dalam kitab Al-Muntadham jilid: 18 halaman: 103 Nomer: 4201 menjelaskan bahwa beliau adalah hafidh [penghapal/penjaga] yang kuat dan dapat dipercaya) dan dari beberapa Al-Hafidh lainnya yang menyatakan bahwa; Sesungguhnya Imam Ahmad (bin Hanbal) pernah ditanya tentang mencium kubur Nabi dan mencium mimbarnya. Lalu beliau berfatwa: Hal itu tidak mengapa.
Ia (Al-Hafidh Abu Sa’id bin Al-‘Ala) berkata: Aku tunjukkan hal itu kepada At-Taqi Ibnu Taimiyah kemudian dia terkejut dengan hal itu dengan menyatakan: ‘Aku heran dengan Ahmad yang sangat mulia disisiku. Beginilah ungkapannya atau kandungan ungkapannya,. Kemudian (Al-Hafidh Abu Sa’id bin Al-‘Ala) berkata lagi: Adakah keanehan dari hal itu sedang kita telah mengisahkan berkaitan dengan Ahmad bahwa ia telah mencuci baju Asy-Syafi’i (Ibn Idris) dan lalu meminum air bekas cucian tadi. (Manaqib Ahmad karya Ibnu Jauzi halaman: 609, atau Al-Bidayah waan-Nihayah karya Ibnu Katsir jilid: 1 halaman: 365 pada kejadian tahun 241 H).

melihat riwayat ini, Ibnu Taimiyah dikala mendengar bahwa Imam Ahmad berfatwa membolehkan tabarruk terhadap kuburan Rasulullah saw. dan Imam Ahmad sendiri bertabarruk dari perasan cucian baju Imam Syafi’i, ia hanya mengatakan: “Aku heran dengan Ahmad yang sangat mulia disisiku, beginilah ungkapannya atau kandungan ungkapannya? Kalau memang ini bid'ah dan syirik mengapa Ibnu Taimiyyah tidak mengatakan: “Imam Ahmad telah melakukan bid’ah atau syirik dan ia adalah ahli bid’ah dan musyrik yang ajarannya harus dijauhi bahkan diperangi dan darah serta hartanya halal”.

Imam Ahmad bin Hanbal sendiri pernah juga bertabarruk, dan Al-Hafidz membenarkannya. Hal itu dituturkan oleh Abdullah bin Ahmad (putera Imam Ahmad): ‘Saya pernah melihat ayahku mengambil sehelai rambut Rasulullah saw. lalu dicium dengan mulutnya. Bahkan saya pernah melihatnya menempelkan rambut Rasulullah saw. pada matanya, kemudian mencelupkannya dalam air lalu dia meminum air itu, bertabarruk mohon kesembuhan. Saya pernah juga melihat ayahku memegang piring Rasulullah saw. kemudian dicucinya lalu ia minum air yang berada dipiring itu. Saya pun pernah melihat ayahku minum air zam-zam bertabarruk mohon kesembuhan, dan setelah itu ia mengusap-usap tangan dan mukanya dengan air tersebut’.

Abdullah bin Ahmad bin Hanbal ini telah bertanya pada ayahnya mengenai orang yang menyentuh atau mengusap-usap rummanah  (benda bulat dari kayu yang berada di atas mimbar kuno, tempat berpegang pada saat orang sedang berkhutbah) mimbar Rasulullah saw. dan mengenai orang yang mengusap-usap atau mencium Hajar Al-Aswad (batu hitam yang terletak dipojok Ka’bah). Sebagai jawaban beberapa pertanyaan tersebut ayah beliau Imam Ahmad bin Hanbal berkata: ‘Saya berpendapat hal itu tidak ada salahnya. Semoga Allah melindungi semua dan ayahmu dari pendapat kaum Khawarij dan dari berbagai bid’ah. (Siyaru A’lami-Nubala’ jilid 11 hamalan 312).

Dinukil dari Ibnu Jama’ah (As-Syafi’i) yang menyatakan; Abdullah bin Ahmad bin Hanbal pernah menceritakan perihal ayahnya. Ia (Abdullah) meriwayatkan: 'Aku pernah bertanya kepada ayahku tentang seseorang yang menyentuh mimbar Rasulullah dan bertabarruk dengan mengusap-usap juga menciumnya. Dan juga melakukan di kuburan sebagaimana hal tadi (mengusap dan mencium) dengan tujuan mengharap pahala Allah'. Beliau menjawab: “Tidak mengapa”. (Wafa’ Al-Wafa’ jilid: 4 halaman: 1414).

Syeikh Ibnu Hajar berfatwa: “Sebagian menggali dasar hukum dari legalitas mencium Hajar Aswad dengan diperbolehkannya mencium segala yang memiliki potensi untuk diagungkan dari manusia ataupun selainnya (benda)”  (Wafa’ Al-Wafa’ Jilid 4 Halaman: 1405)

Syeikh Ibrahim Al-Bajuri berfatwa: “Dimakruhkan mencium kuburan dan menyentuhnya kecuali untuk bertabarruk maka tidak makruh” (Syarh Al-Fiqh Asy-Syafi’i Jilid:1 Halaman 276)
Syeikh Muhibbuddin Ath-Thabari berfatwa: “Diperbolehkan mencium dan menyentuh kuburan. Itu merupakan perbuatan para ulama dan orang-orang sholeh” (Asna Al-Matholib jilid: 1 halaman: 331 atau sebagaimana yang dinukil dalam kitab Wafa’ al-Wafa’ jilid: 4 halaman: 1407)

Syeikh Ar-Ramli Asy-Syafi’i berfatwa: “Jika kuburan Nabi, wali atau seorang alim disentuh ataupun dicium untuk tujuan tabarruk maka tidak mengapa” (Kanzul Matholib karya Al-Hamzawi halaman: 219)

Syeikh Az-Zarqoni Al-Maliki menfatwakan: “Mencium kuburan hukumnya makruh, kecuali jika bertujuan untuk tabarruk maka tidak makruh” (Syarh Al-Mawahib jilid: 8 halaman: 315).

Syeikh Al-Adwi Al-Hamzawi Al-Maliki menfatwakan: “Tiada keraguan lagi bahwa mencium kuburan mulia (Rasulullah) tidak akan dilakukan kecuali untuk bertabarruk. Hal itu lebih utama dalam pembolehannya dibanding dengan tabarruk untuk kuburan para kekasih Allah (waliyullah)”  (Kanzul Matholib halaman: 20 dan Masyariq Al-Anwar jilid: 1 halaman: 140).
Syeikh Syihabuddin Al-Khoffaji Al-Hanafi menyatakan berkaitan dengan ungkapan yang mengatakan: ‘Dimakruhkan menyentuh, mencium dan menempelkan dada’. Beliau menjawab dengan menfatwakan: “Hal ini (hukum makruhnya) tidak ada kesepakatan padanya. Atas dasar itulah Ahmad dan Thabari mengatakan bahwa; tidak mengapa mencium dan menyentuhnya” (Syarh As-Syifa’ jilid: 3 halaman: 171 dan atau sebagaimana yang dinukil oleh Syamhudi dalam Wafa’ Al-Wafa’ jilid: 4 halaman: 1404)

Dalam kitab Al-Hikayatul Mantsurah imam ahli hadits yang bernama Al-Hafidz Ad-Dhiya Al-Maqdisy mengatakan bahwa Imam Abdulghani Al-Hanbali ketika menderita penyakit bisul lama tak dapat sembuh, ia bertabarruk dengan mengusapkan bisulnya pada makam Imam Ahmad bin Hanbal, dan ternyata segera sembuh.

Al-Khatib dalam Tarikhnya mengatakan, ketika tinggal di Iraq beberapa waktu lamanya Imam Syafi’i bertabarruk dengan ziarah kemakam Abu Hanifah.

            Dan masih banyak lagi fatwa-fatwa para ulama yang memperbolehkan bertabarruk dengan mimbar, kuburan atau benda lain yang dimiliki oleh Nabi saw dan kekasih Allah lainnya (waliyullah), sehingga kita tidak perlu ragu apalagi takut melaksanakannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar