Kelompok yang tidak menyenagi adanya tahlilan masih mengusik dengan adanya
kenduri arwah, yang mana keluarga si mayat membuat makanan untuk dihidangkan kepada para tamu. Dalam
pembahasan kali ini hanya mengenai
membuat jamuan (hidangan), masalah kirim do’a sudah kita bahas di atas.
Mengenai
hal ini, kelompok ini masih menggunakan (mencomot) ucapan-ucapan ulama Syafi’iyah, di mana ia
mengatakan :
Mungkin
ramai dari kalangan pengikut madzab Syafi’i tidak menyadari bahwa bertahlil dengan cara berkumpul beramai-ramai, membaca
Al-Qur’an, berdzikir, berdo’a dan mengadakan hidangan makanan di rumah si mayat
atau keluarga si mayat, bukan saja Imam Syafi’i yang menghukumi haram dan
bid'ah, malah ramai para ulama madzab Syafi’i turut berpendirian seperti
Imam Syafi’i. Adapun antara mereka yang mengharamkan
kenduri arwah, yasinan, tahlilan dan selamatan ialah Imam Nawawi, Ibn
Hajar Al-Asqalani, Imam Ibnu Katsir, Imam
Ar-Ramli dan ramai lagi para ulama muktabar dari kalangan yang bermadzab Syafi’i, sebagaimana beberapa fatwa tentang pengharaman tersebut dari mereka dan Imam
Syafi’i rahimahullah mengatakan:
وَأَكْرَهُ
الْمَأْتَمَ وَهِيَ الْجَمَاعَةُ وَاِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُمْ بُكَاءٌ
"Dan aku telah memakruhkan (mengharamkan) ma’tam, yaitu
berkumpul di rumah (si mayat)
walaupun bukan untuk tangisan (ratapan)".
Mengadakan majlis kenduri
yaitu dengan berkumpul beramai-ramai
terutamanya untuk berdzikir, tahlilan, membaca surah Yasin atau kenduri arwah
sebagaimana yang dilakukan oleh masyarakat Indonesia di rumah si mayat atau memperingati kematian, maka semuanya itu benar-benar dihukum bid'ah yang
mungkar oleh Imam Syafi’i rahimahullah sebagaimana fatwa-fatwa beliau dan para
ulama yang bermadzab Syafi’i yang selanjutnya:
وَاَمَّا اِصْلاَحُ اَهْلُ
الْمَيِّتِ طَعَامًا وَجَمْعُ النَّاسَ عَلَيْهِ فَبِدْعَةٌ غَيْرُ مُسْتَحَبَّةٍ
"Adapun menyediakan makanan oleh keluarga mayit dan berkumpul beramai-ramai
di rumah (si mayat) tersebut maka itu adalah bid'ah bukan sunnah".
Di dalam
kitab I’anah al-Thalibin juz 2 halaman. 146 disebutkan pengharaman kenduri arwah, yaitu:
وَمَا اعْتِيدَ مِنْ جَعْلِ أَهْلِ الْمَيِّتِ طَعَامًا لِيَدْعُوَ النَّاسَ
إِلَيْهِ بِدْعَةٌ مَكْرُوهَةٌ كَاجْتِمَاعِهِمْ لِذلِكَ لِمَا صَحَّ عَنْ جَرِيرٍ قَالَ عَنْ جَرِيرِ بْنِ
عَبْدِ اللهِ قَالَ كُنَّا نُعِدُّ الاجْتِمَاعَ لِأَهْلِ الْمَيِّتِ وَصُنْعِهِمُ الطَّعَامَ
مِنَ النِّيَاحَةِ (رَوَاهُ الْإِمَامُ أَحْمَدُ وَابْنُ مَاجَّهْ بِإِسْنَادٍ صَحِيحٍ)
“Dan apa yang telah menjadi kebiasaan manusia
tentang mengundang orang dan menyediakan hidangan makanan oleh keluarga si mayat adalah bid’ah yang dibenci, termasuklah dalam hal ini
berkumpul beramai-ramai di rumah keluarga si
mayat karena terdapat hadits shahih dari Jarir bin Abdullah berkata: Kami
menganggap berkumpul beramai-ramai
(berkenduri arwah) di rumah si mayat dan menyiapkan makanan sebagai ratapan". (Diriwayatkan oleh Imam Ahmad
dan Ibn majah
dengan sanad yang sahih).
Jawabannya
Mengenai
makan dirumah duka, sungguh Rasul saw telah melaku-kannya, dijelaskan dalam
kitab Tuhfatul Ahwadziy Juz 4 halaman 67.
حَدِيُثُ عَاصِمِ
بْنِ كُلَيْبِ الَّذِي رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ فِي سُنَنِهِ بِسَنَدٍ صَحِيحٍ عَنْهُ
عَنْ أَبِيهِ عَنْ رَجُلٍ مِنْ الْأَنْصَارِ قَالَ خَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللهِ r فِي جِنَازَةٍ فَرَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ r وَهُوَ عَلَى الْقَبْرِ يُوصِي الْحَافِرَ أَوْسِعْ مِنْ قِبَلِ
رِجْلَيْهِ أَوْسِعْ مِنْ قِبَلِ رَأْسِهِ فَلَمَّا رَجَعَ اسْتَقْبَلَهُ دَاعِيُ
امْرَأَتِهِ فَأَجَابَ وَنَحْنُ مَعَهُ فَجِيءَ بِالطَّعَامِ فَوَضَعَ يَدَهُ ثُمَّ
وَضَعَ الْقَوْمُ فَأَكَلُوا الْحَدِيثَ رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ وَالْبَيْهَقِيُّ فِي
دَلَائِلِ النُّبُوَّةِ هَكذَا فِي الْمِشْكَاةِ فِي بَابِ الْمُعْجِزَاتِ فَقَوْلُهُ
فَلَمَّا رَجَعَ اسْتَقْبَلَهُ دَاعِيُ امْرَأَتِهِ إِلَخْ نَصٌّ صَرِيحٌ فِي أَنَّ
رَسُولُ اللهِ r أَجَابَ دَعْوَةَ أَهْلِ الْبَيْتِ وَاجْتَمَعَ هُوَ وَأَصْحَابُهُ
بَعْدَ دَفْنِهِ وَأَكَلُوا
“Telah menceritakan Ashim bin Kulaib ra yang
diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam sunannya dengan sanad shahih, dari ayahnya,
dari seorang
lelaki Anshar, berkata : Kami keluar bersama Rasul saw dalam suatu penguburan
jenazah, lalu kulihat Rasul saw memerintahkan pada penggali kubur untuk memperlebar dari arah kaki dan
dari arah kepala, ketika selesai maka
datanglah seorang utusan istri almarhum, mengundang Nabi saw untuk bertandang kerumahnya, lalu Rasul saw menerima undangannya dan kami bersamanya,
lalu dihidangkan makanan, lalu Rasul saw
menaruh tangannya di makanan itu, kamipun menaruh tangan kami dimakanan
itu, lalu kesemuanyapun makan. Riwayat
Abu Dawud dan Baihaqi dalam Dalail Nubuwwah, demikian pula diriwayatkan dalam AL-Misykaah, di Bab
Mukjizat, dikatakan bahwa ketika
beliau saw akan pulang maka datanglah utusan istri almarhum (sampai akhir
hadits), dan hal ini merupakan Nash yang jelas bahwa Rasulullah saw mendatangi
undangan keluarga duka, dan berkumpul bersama
sahabat beliau saw setelah penguburan dan mereka makan”.
Mengenai
ucapan para Imam itu, yang dimaksud adalah membuat jamuan khusus
untuk mendatangkan tamu yang banyak, dan mereka tak mengharamkan
itu :
1.
Ucapan Imam Nawawi yang mereka jelaskan itu, beliau mengatakannya tidak disukai (ghairu
Mustahibbah), bukan haram, tapi mereka mencapnya haram padahal Imam Nawawi
mengatakan ghairu mustahibbah, berarti bukan hal yang
dicintai, ini berarti hukumnya bisa mubah, atau makruh dan tidak sampai
haram.
2.
Imam
Ibnu Hajar Al Haitsamiy menjelaskan :
مِنْ جَعْلِ
أَهْلِ الْمَيِّتِ طَعَامًا لِيَدْعُوا النَّاسَ عَلَيْهِ بِدْعَةٌ مَكْرُوهَةٌ
“Mereka yang
keluarga duka yang membuat makanan demi mengun-dang orang adalah hal Bid’ah Munkarah yang makruh” (bukan haram).
Semoga mereka
mengerti bahasa, bahwa jauh berbeda dengan
keluarga duka apabila menyuguhkan makanan
untuk tamu yang mengucapkan bela
sungkawa, jauh berbeda apabila keluarga duka membuat makanan demi mengundang orang agar datang, yang dilarang (Makruh) adalah membuat makanan
untuk mengundang orang agar datang dan meramaikan rumah.
3.
Ucapan Imam Ibnu Abidin Al-Hanafy menjelaskan “Ittikha-dzuddhiyafah”, ini maknanya “membuat perjamuan
besar”, misalnya begini : Bupati menjadikan selamatan kemenangannya dalam
pilkada dengan “Ittikhadzuddhiyafah” yaitu mengadakan perjamuan. Inilah yang dikatakan Makruh oleh Imam
Ibnu Abidin dan beliau tidak
mengatakannya haram, Inilah dangkalnya pemahaman mereka sehingga membuat kebenaran diselewengkan. Hal ini berkenaan dengan fatwa Imam Syafi’i didalam
kitab I'anatutthaalibin, yang diharamkan adalah Ittikha-dzuddhiyafah,
(mengadakan jamuan besar), hal itu "Syara'a
lissurur", yaitu jamuan makan untuk kegembiraan, bukan untuk
kematian,
Dan di dalam kitab
fiqih empat madzhab (Al-Fiqh ‘Ala
Al-Madzahib Al-Arba’ah juz 1 halaman 490). karangan syekh Abdurrahman Al-Jaziri
disebutkan:
وَمِنَ الْبِدَعِ
الْمَكْرُوهَةُ مَا يُفْعَلُ الآنَ مِنْ ذَبْحِ الذَّبَائِحِ عِنْدَ خُرُوجِ الْمَيِّتِ
مِنَ الْبَيْتِ أَوْ عِنْدَ الْقَبْرِ وَإِعْدَادِ الطَّعَامِ لِمَنْ يَجْتَمِعُ لِلتَّعْزِيَةِ
وَتَقْدِيمُهُ لَهُمْ كَمَا يُفْعَلُ ذلِكَ فِي الْأَفْرَاحِ وَمَحَافِلِ السُّرُورِ
“Di antara salah satu bentuk bid’ah
yang makruh adalah apa-apa yang dilakukan
oleh orang-orang sekarang seperti menyembelih binatang pada saat mayat keluar dari rumah atau ketika penguburan,
menyediakan makanan untuk orang-orang yang berkumpul
untuk ber ta’ziyah dan menyuguhkannya
kepada mereka sebagai mana hal itu dilakukan dalam acara-acara senang
dan perkumpulan-perkumpulan gembira”.
4.
Imam
Ad-Dasuqi Al-Maliki berkata berkumpulnya orang dalam hidangan makan-makan
dirumah mayat hukumnya bid’ah yang makruh. (bukan haram tentunya), dan
maksudnya pun sama dengan ucapan di atas,
yaitu mengumpulkan orang dengan jamuan makanan, namun beliau
mengatakannya makruh, tidak sampai mengharamkannya.
5.
Syaikh
An-Nawawi Al-Bantani rahimahullah menjelaskan adat istiadat baru berupa “Wahsyah”
yaitu adat berkumpul dimalam pertama saat mayat wafat dengan hidangan makanan
macam macam, hal ini makruh, (bukan haram).
Dan
mengenai ucapan secara keseluruhan, yang dimaksud makruh adalah sengaja membuat acara “jamuan makan” demi mengundang tamu,
ini yang ikhtilaf ulama antara mubah dan makruh, tapi kalau hal tersebut
diniatkan sedekah dengan pahalanya untuk mayat maka justru hadits Shahih Muslim di atas telah memperbolehkannya bahkan
sunnah. ( Dalil ketujuh ) di atas.
Dan tentunya bila mereka
(keluarga mayat) meniatkan untuk sedekah yang pahalanya untuk mereka sendiripun
maka tidak juga ada yang memakruhkannya.
Sebagaimana
Rasul saw makan pula, karena asal dari pelarangan adalah memberatkan mayat, namun masa kini bila kita hadir ke
rumah duka lalu mereka hidangkan makanan dan kita katakan haram (padahal
hukumnya makruh) maka hal itu malah menghina dan membuat sedih keluarga yang
wafat. Lihat akhlak Rasulullah saw, beliau
tahu bahwa pembuatan makanan di rumah duka adalah hal yg memberatkan keluarga duka, namun beliau
mendatangi undangan istri almarhum dan makan bersama sahabatnya,
kenapa?, Beliau tidak mau mengecewakan
keluarga duka, justru datang dan makan itu bila akan menghibur keluarga
duka maka perbuatlah!, itu sunnah Muhammad saw.
Yang
lebih baik adalah datang dan makan tanpa bermuka masam dan merengut sambil
berkata haram..haram… dirumah duka (padahal makruh), tapi bawalah uang atau
hadiah untuk membantu mereka.
Sekali
lagi kami jelaskan bahwa asal muasal pemakruhan adalah jika menyusahkan dan memberatkan
keluarga mayat, maka memberat kan
dan menyusahkan mereka itulah yang makruh,
Selama hal ini ada riwayat
dari Rasul saw yang memakannya dan mendatangi undangan istri almarhum dan makan
bersama sahabatnya, maka kita haram berfatwa mengharamkannya karena bertentangan dengan sunnah Nabi saw, karena hal
itu diperbuat oleh Rasul saw, namun
kembali pada pokok permasalahan yaitu jangan memberatkan keluarga duka,
bila memberatkannya maka makruh.
Dalam
kitab Syarh Sunan Ibn Majah Juz 1 halaman 116 disebutkan:
وَأَمَّا صَنْعَةُ
الطَّعَامِ مِنْ أَهْلِ الْمَيِّتِ إِذَا كَانَ لِلْفُقَرَاءِ فَلَا بَأْسَ بِهِ لِأَنَّ
النَّبِيَّ r قَبِلَ دَعْوَةَ الْمَرْأَةِ الَّتِي
مَاتَ زَوْجُهَا كَمَا فِي سُنَنِ أَبِي دَاوُدَ وَأَمَّا إِذَا كَانَ لِلْأَغْنِيَاءِ
وَالْأَضْيَافِ فَمَمْنُوعٌ وَمَكْرُوهٌ لِحَدِيثِ أَحْمَدَ وَ ابْنُ مَاجَّةَ
”Adapun membuat makanan dari keluarga mayat itu, bila
untuk para fuqara maka
diperbolehkan, karena Nabi saw menerima undangan wanita yang wafat suaminya sebagaimana diriwayatkan pada sunan Abu Dawud, namun bila untuk orang orang kaya dan
perjamuan maka terlarang dan Makruh
sebagaimana hadits riwayat Ahmad dan Ibnu Majah”.
Dan dijelaskan pula oleh
Imam Ibnu Qudamah Al-Maqdisi Al-Hanbali (seorang ulama bermadzhab Hanbali)
dalam kitabnya Al-Mughniy juz 2 halaman 215 :
فَأَمَّا صُنْعُ أَهْلِ الْمَيِّتِ طَعَامًا
لِلنَّاسِ فَمَكْرُوهٌ لِأَنَّ فِيهِ زِيَادَةً عَلَى مُصِيبَتِهِمْ وَشُغْلًا
لَهُمْ إلَى شُغْلِهِمْ وَتَشَبُّهًا بِصُنْعِ أَهْلِ الْجَاهِلِيَّةِ
”Bila keluarga mayat membuat makanan untuk orang
maka makruh, karena hal itu
menambah atas musibah mereka dan menyibukkan, dan meniru niru perbuatan
jahiliyah”.
(MAKRUH…… BUKAN HARAM)
Masih
dalm kitab Al-Mughniy juz 2 halaman 215 : Shohibul Mughniy selanjutnya menjelaskan :
وَإِنْ دَعَتْ
الْحَاجَةُ إلَى ذَلِكَ جَازَ فَإِنَّهُ رُبَّمَا جَاءَهُمْ مَنْ يَحْضُرُ
مَيِّتَهُمْ مِنْ الْقُرَى وَالْأَمَاكِنِ الْبَعِيدَةِ وَيَبِيتُ عِنْدَهُمْ
وَلَا يُمْكِنُهُمْ إلَّا أَنْ يُضَيِّفُوهُ
”Bila mereka melakukannya karena ada sebab/hajat,
maka hal itu diperbolehkan, karena barangkali diantara mereka yang datang untuk menghadiri
orang yang mati itu ada yang dari pedesaan, dan tempat tempat yang jauh, dan
menginap dirumah mereka, maka tak bisa tidak terkecuali mereka mesti
dijamu”.
(DISINI
HUKUMNYA BERUBAH MENJADI MUBAH KARENA ADA HAJAT, BUKAN JAMUAN
UNTUK MENGUNDANG ORANG BANYAK)
Nah..
inilah kebodohan mereka, bagaimana ucapan “Ghairu Mustahibbah” bisa dirubah jadi haram?,
sedangkan makna Mustahibbah adalah disukai untuk dilakukan dan disejajarkan
dengan makna sunah secara istilahi, yaitu yutsab ala fi’lihi walaa
yu’aqabu alaa tarkihi (diberi pahala bila dilakukan dan tidak berdosa jika
ditinggalkan),
Di
dalam Ushul dijelaskan bahwa Mandub, hasan, an-nafl, sunah, Mustahab fiih
(mustahibbah), Muragghab fiih, ini semua satu makna, yaitu yutsab ala fi’lihi walaa
yu’aqabu alaa tarkihi (diberi pahala bila dilakukan dan tidak
berdosa jika ditinggalkan).
Imam Nawawi tidak
mengucapkan haram, karena bila haram beliau tak payah-payah menaruh kata ghairu
mustahibbah dan lain sebagainya, beliau akan berkata haram mutlaqan
(haram secara mutlak), namun beliau tak mengatakannya,
Dan
mengenai kata “Bid’ah” sebagaimana mereka menukil ucapan Imam Nawawi, perlu difahami bahwa bid’ah menurut Imam Nawawi terbagi lima bagian, yaitu wajib, sunnah,
mubah, makruh dan haram (rujuk syarh nawawi ala shahih Muslim Juz 6 hal
164-165), (Lebih jelasnya dapat membaca di
tulisan kami yang berjudul : “Meluruskan pemahaman
bid’ah”.) Untuk itu
sebelum mengambil dan menggunting ucapan
Imam Nawawi, maka perlu memahami dulu apa maksud bid’ah dalam ta’rif Imam
Nawawi, barulah bicara fatwa bid’ah oleh Imam Nawawi, Bila Imam Nawawi
menjelaskan bahwa dalam bid’ah itu ada yang mubah dan yang makruh, maka ucapan “Bid’ah Ghairu Mustahibbah” bermakna
bid’ah yang mubah atau yang makruh,
Kecuali bila Imam Nawawi berkata “Bid’ah Muharramah” (Bid’ah yang haram). Namun kenyataannya Imam Nawawi tidak mengatakannya haram, maka hukumnya
antara mubah dan makruh.
Untuk
Ucapan Imam Ibnu Hajar inipun jelas, beliau berkata Bid’ah
Munkarah Makruhah, (bid’ah yg
tercela yang makruh), karena bid’ah
tercela itu tidak semuanya haram, Hukum dari mana makruh dibilang haram,
makruh sudah jelas makruh, hukumnya yutsab ala tarkihi wala yu’aqabu ala
fi’lihi (mendapat pahala bila ditinggalkan dan tidak mendapat dosa bila dilakukan), Dan yang dimakruhkan adalah
menyiapkan makanan untuk mengundang orang, beda dengan orang datang lalu
shohibul bait menyuguhi.
Dijelaskan
bahwa yang dimaksud adat jahiliyyah ini adalah membuat jamuan besar,
mereka menyembelih sapi atau kambing demi mengundang tamu setelah ada kematian, ini makruh hukumnya, namun
beda dengan orang datang karena ingin menjenguk, lalu sohibul bait menyuguhi
ala kadarnya,
Jadi dapat kita ambil
kesimpulan :
1.
Membuat
jamuan untuk mengundang orang banyak hukumnya makruh,
walaupun ada yang mengatakan haram namun Jumhur Imam dan Muhadditsin
mengatakannya makruh.
2.
Membuat jamuan dengan niat sedekah hukumnya sunnah,
tidak terkecuali ada kematian atau kelahiran atau apapun,
3.
Membuat
jamuan dengan tujuan sedekah dan pahalanya untuk mayat hukumnya sunnah,
sebagaimana hadits Shahih Muslim :
عَنْ عَائِشَةَ اَنَّ رَجُلًا أَتَى النَّبِيَّ r فَقَالَ إِنَّ اُ مِّي اقْتُلِيَتْ
نَفْسُهَا وَلَمْ تُوْصِ وَأَظُنُّهَا لَوْ تَكَلَّمَتْ تَصَدَّقَتْ أَفَلَهَا
اَجْرٌ اِنَّ تَصَدَّقْتُ عَنْهَا قَالَ نَعَمْ (رَوَاهُ مُسْلِمٌ)
“Dari ‘Aisyah, bahwasanya seorang laki-laki datang
kepada Nabi Saw., dan bertanya: “Sesungguhnya ibuku
meninggal tiba-tiba, saya kira kalau ia dapat bicara sebelumnya tentu ia akan
bersedekah, apakah ia akan dapat pahala bila aku bersedekah menggantikannya?” Jawab Nabi: “Ya.” (HR. Muslim)
4.
Menghidangkan
makanan seadanya untuk tamu yang datang saat
kematian adalah hal yang mubah, bukan makruh, misalnya sekedar air putih, teh atau kopi sederhana. Dan
lebih dari itu, ada tujuan lain yang
ada di balik jamuan tersebut, yaitu ikramud
dlaif (menghormati
tamu),
5.
Sunnah Muakkadah bagi masyarakat dan keluarga tidak
datang begitu saja dengan tangan kosong, namun bawalah sesuatu, berupa
buah, uang, atau makanan, beras, gula dan sebagainya.
6.
Makan makanan yang dihidangkan oleh mereka tidak haram, karena tak ada yang mengharamkannya, bahkan
sebagaimana dalam Syarh Sunan Ibnu Majah
dijelaskan hal itu pernah dilakukan oleh Rasul saw.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar