Senin, 17 Agustus 2015

hukum berdoa dengan tawassul




Tawassul artinya menjadikan sesuatu sebagai perantara dalam usaha untuk memperoleh kedudukan yang tinggi di sisi Allah atau untuk mewujudkan keinginan dan cita-citanya. Sedangkan wasilah adalah sesuatu yang dijadikan sebagai perantara dalam bertawassul. Dalam Al-Qur’an disebutkan :

يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُواْ اتَّقُواْ اللهَ وَابْتَغُواْ إِلَيهِ الْوَسِيلَةَ وَجَاهِدُواْ فِي سَبِيلِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan. (Q.S. 5 Al Maa-idah 35)

            Dalam ayat ini Allah swt, memerintahkan kita agar mencari wasilah yang dapat mendekatkan kita kepada Allah, termasuk dengan cara bertawasul dengan para Nabi dan wali yang sudah meninggal seperti telah diajarkan oleh Rasulullah saw, para sahabat dan ulama salaf yang shaleh. Dalam menafsirkan wasilah dalam ayat ini, Al-Hafidz Ibn Katsir mengatakan :
وَالْوَسِيْلَةُ هِيَ الَّتِيْ يُتَوَصَّلُ بِهَا إِلَى تَحْصِيْلِ الْمَقْصُوْدِ
“Wasilah adalah segala sesuatu yang menjadi sebab sampai pada tujuan”. (Tafsirul Qur’anil ‘Adzim juz 2 halaman 52)

            Sesuatu yang dapat dijadikan sebagai wasilah (perantara) adalah jika ia dicintai dan diridhai Allah, jadi sesuatu/barang yang haram tidak dapat dijadikan wasilah.

وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ رَسُولٍ إِلَّا لِيُطَاعَ بِإِذْنِ اللهِ وَلَوْ أَنَّهُمْ إِذْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ جَاءُوكَ فَاسْتَغْفَرُوا اللهَ وَاسْتَغْفَرَ لَهُمُ الرَّسُولُ لَوَجَدُوا اللهَ تَوَّابًا رَحِيمًا
“Dan Kami tidak mengutus seseorang Rasul, melainkan untuk dita’ati dengan seizin Allah. Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang”. (Q.S. 4 An Nisaa’ 64).

            Dalam ayat ini Allah menuntun kita, apabila kita menganiaya diri dengan melakukan perbuatan dosa, dan kita hendak bertaubat dan memohon ampun kepada Allah, maka kita mendatangi Rasulullah saw, baik ketika beliau masih hidup atau sudah meninggal, lalu kita memohon ampun kepada Allah serta ber-tawassul dan ber-istighatsah dengan Rasulullah saw, agar dimohonkan ampun kepada Allah. Hal ini sesuai dengan penafsiran Al-Hafidz Ibn Katsir (salah seorang ulama yang dikagumi kaum wahhabi) dalam kitab tafsirnya juz 2 halaman 366 terhadap ayat di atas berikut ini :

يُرْشِدُ تَعَالَى الْعُصَاةَ وَالْمُذْنِبِينَ إِذَا وَقَعَ مِنْهُمُ الْخَطَأُ وَالْعِصْيَانِ أَنْ يَأْتُوا إِلَى الرَّسُولِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَيَسْتَغْفِرُوا اللهَ عِنْدَهُ وَيَسْأَلُوهُ أَنْ يَسْتَغْفِرُ لَهُمْ فَإِنَّهُمْ إِذَا فَعَلُوا ذلِكَ تَابَ اللهُ عَلَيْهِمْ وَرَحِمَهُمْ وَغَفَرَ لَهُمْ وَلِهذَا قَالَ (لَوَجَدُوا اللهَ تَوَّابًا رَحِيمًا) وَقَدْ ذَكَرُ جَمَاعَةٌ مِنْهُمُ الشَّيْخُ أَبُو نَصْرُ بْنُ الصَّبَّاغِ فِي كِتَابِهِ الشَّامِلِ الْحِكَايَةَ الْمَشْهُورَةَ عَنِ العُتْبِيِّ قَالَ كُنْتُ جَالِسًا عِنْدَ قَبْرِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَجَاءَ أَعْرَابِيٌّ فَقَالَ السَّلَامُ عَلَيْكَ يَا رَسُولَ اللهِ سَمِعْتُ اللهَ يَقُولُ (وَلَوْ أَنَّهُمْ إِذْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ جَاءُوكَ فَاسْتَغْفَرُوا اللهَ وَاسْتَغْفَرَ لَهُمُ الرَّسُولُ لَوَجَدُوا اللهَ تَوَّابًا رَحِيمًا) وَقَدْ جِئْتُكَ مُسْتَغْفِرًا لِذَنْبِي مُسْتَشْفِعًا بِكَ إِلَى رَبِّي ثُمَّ أَنْشَأَ يَقُولُ
يَا خَيْرَ مَنْ دُفِنَتْ بِالْقَاعِ أَعْظُمُهُ              فَطَابَ مِنْ طِيْبِهِنَّ الْقَاعُ وَالْأَكَمُ
نَفْسِي الْفِدَاءُ لِقَبْرٍ أَنْتَ سَـاكِنُهُ             فِيهِ الْعَفَافُ وَفِيهِ الْجُودُ وَالْكَرَمُ

ثُمَّ انْصَرَفَ الْأَعْرَابِي فَغَلَبَتْنِي عَيْنِي فَرَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي النَّوْمِ فَقَالَ يَا عُتْبِيُّ اِلْحِقِ اْلأَعْرَابِيَّ فَبَشِّرْهُ أَنَّ اللهَ قَدْ غَفَرَ لَهُ

“Allah swt, memberi bimbingan kepada orang-orang durhaka yang berdosa, bila mereka tejerumus ke dalam kesalahan dan kemaksiatan, hendaknya mereka datang menghadap Rasulullah saw, lalu memohon ampun kepada Allah di hadapannya dan meminta kepadanya agar mau memohonkan ampun kepada Allah buat mereka. Karena sesungguhnya jikalau mereka melakukan hal tersebut, niscaya Allah menerima taubat mereka, merahmati mereka, dan memberikan ampunan bagi mereka. Karena itulah dalam firman berikutnya di sebutkan : (tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang). Sejumlah ulama, antara lain Syekh Abu Mansur Ash-Shabbagh di dalam kitabnya Asy-Syamil, mengetengahkan kisah yang terkenal (populer) dari Al-Utbi. Beliau berkata : Aku sedang duduk di dekat kubur Rasul saw, datanglah seorang A’rabi (Arab Badui) dan berkata : Salam sejahtera atasmu ya Rasulullah. Aku telah mendengar Allah berfirman : “Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang” (Q.S. 4 An Nisaa’ 64). Sekarang aku datang kepadamu, memohon ampun bagi dosa-dosaku (kepada Allah) dan meminta syafaat (pertolongan) kepadamu (agar engkau memohonkan ampunan bagiku) kepada Tuhanku. Kemudian ia mengucapkan syair :

Wahai sebaik-baik orang yang dikebumikan di lembah ini lagi paling agung                           Maka menjadi harumlah dari pancaran keharumannya semua lembah      dan pegunungan ini.
          Diriku sebagai tebusan kubur yang engkau menjadi penghuninya                                           Di dalamnya terdapat kehormatan, kedermawanan dan kemuliaan.

Kemudian lelaki A’rabi itu pergi, dan dengan serta merta mataku terasa mengantuk sekali hingga tertidur. Dalam tidurku itu aku bermimpi bertemu Nabi saw, lalu beliau bersabda : Hai Utbi susullah orang A’rabi itu dan sampaikanlah kabar gembira kepadanya bahwa Allah telah memberikan ampunan kepadanya”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar