Selasa, 01 September 2015

HUKUM MEREKAM DETIK-DETIK KEMATIAN SEBAGAI KONSUMSI PUBLIK



         Kematian (maut atau ajal), walau pesti terjadinya dan dialami oleh semua makhluk hidup, tetapi tetap merupakan misteri saat terjadinya dan tidak dapat dipastikan. Dalam Al-Qur'an di sebutkan :


لِكُلِّ أُمَّةٍ أَجَلٌ إِذَا جَاءَ أَجَلُهُمْ فَلاَ يَسْتَأْخِرُوْنَ سَاعَةً وَلاَ يَسْتَقْدِمُوْنَ

Tiap-tiap umat mempunyai ajal. Apabila telah datang ajal mereka, maka mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaat pun dan tidak (pula) mendahulukan (nya).(Q.S. 10 Yunus 49)

            Oleh karena itu kemungkinan dilakukan perekaman detik-detik kematian amatlah mustahil kecuali dalam kasus pelaksanaan hukuman mati atau dengan melakukan catunasia (mempercepat kematian secara medis)

            Merekam detik-detik kematian jika untuk kepentingan dokumentasi terkait dengan hukum dan demi kemaslahatan umum yang dilakukan oleh instansi pemerintah, maka diperbolehkan karena tidak adanya larangan eksplisit, baik dalam Al-Qur'an maupun hadits. Hal ini didasarkan pada kaidah ushul fiqih :

اَلْأَصْلُ فِي اْلأَشْيَاءِ اْلإِبَاحَةِ حَتَّى يَدُلَّ الدَّلِيْلُ عَلَى التَّحْرِيْمِ
Pada dasarnya segala sesuatu itu hukumnya diperbolehkan sepanjang tidak ada dalil yang menunjukkan keharamannya.

Dan kaidah lainnya :
تَصَرُّفُ اْلإِمَامُ عَلَى الرَّعِيَّةِ مَنُوْطُ بِالْمَصْلَحَةِ
Tindakan pemimpin terhadap rakyat itu harus didasarkan atas pertimbangan kemaslahatan.

            Tetapi jika perekaman itu dilakukan dengan tujuan akan dijadikan konsumsi publik, maka pasti akan memancing kontroversi dan menuai perdebatan. Secara fiqih formal (Perpektif hukum) memang sulit dicarikan landasan pelarangannya, karena tidak ada satupun ayat atau hadits yang secara ekdplisit melarang hal ini. Kalau dirujukkan ke ayat atau hadits tentang ghibah (menebar kejelekan orang di depan umum), bagaimana kalau yang bersangkutan sudah menyatakan kerelaannya? Kalau dikaitkan dengan timbulnya kerusakan atau pun keresahan umum, bagaimana kalau masyarakat justru menikmatinya sebagai sajian langka? Kalau dihubungkan dengan larangan menebar ketakutan, bagaimana jika umumnya masyarakat malah menyukainya karena kematian yang disiarkan tampak tenang dan damai? Dan puluhan pertanyaan lain yang memungkinkan bahwa penyiaran itu tidak bermasalah apalagi kalau dikaitkan dengan kaidah fiqih di atas :

اَلْأَصْلُ فِي اْلأَشْيَاءِ اْلإِبَاحَةِ حَتَّى يَدُلَّ الدَّلِيْلُ عَلَى التَّحْرِيْمِ
Pada dasarnya segala sesuatu itu hukumnya diperbolehkan sepanjang tidak ada dalil yang menunjukkan keharamannya.

            Maka justifikasi pelarangannya secara fiqih formal memang tidak ada. Bahkan jika tujuannya sebagai peringatan bahwa kematian adalah kepastian, yang banyak diabaikan orang, sehingga dengan penayangan demikian mereka akan terperingatkan, maka diperbolehkan

            Namun secara fiqih moral (perpektif etika) maka penayangan detik-detik kematian adalah tidak lazim dan tidak layak, apalagi jika kemuadian tujuan memberi peringatan tersebut tidak tercapai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar