Senin, 17 Agustus 2015

Ulama-ulama wahabi saling menyalahkan






   Ulama-ulama Wahabisme sering saling menyalahkan di antara mereka, karena beda pendapat (tidak sesuai fatwanya), di atara yang kena batunya kali ini adalah Albani sendiri.

     Sebagaimana telah dimaklumi oleh kaum Muslimin, bahwa pada masa Rasulullah saw, saidina Abu Bakar ra, dan saidina Umar ra, adzan untuk shalat Jum’at hanya dilakukan satu kali yaitu ketika khatib telah naik ke mimbar. Pada masa saidina Utsman ra, populasi penduduk semakin meningkat, rumah-rumah baru banyak dibangun dan jauh dari masjid. Untuk memudahkan mereka dalam menghadiri shalat Jum’at agar tidak terlambat, beliau memerintahkan agar adzan dilakukan dua kali. Adzan ini disepakati oleh seluruh sahabat yang hadir pada saat itu. Para ulama menamai adzan saidina Utsman ra, ini dengan sunnah yang harus diikuti karena beliau termasuk Khulafaur Rasyidin.

      Tetapi Albani dalam kitabnya Al-Ajwibah Al-Nafi’ah, menilai adzan saidina Utsman ra, ini sebagai bid’ah yang tidak boleh dilakukan. Tentu saja pendapat aneh Albani yang kontroversial ini menyulut serangan tajam dari kalangan ulama termasuk dari sesama Wahhabi. Dengan pandangannya ini, berarti Albani menganggap seluruh sahabat dan ulama salaf yang shaleh yang telah menyetujui adzan saidina Utsman ra, sebagai ahli bid’ah. Bahkan Syekh Al-Utsaimin (tokoh Wahhabi) sendiri, (kedua ulama ini sangat dikagumi oleh ustadz Mahrus Ali penulis buku “mantan kiai NU menggugat shalawat & dzikir syirik”) sangat marah kepada Albani, sehingga dalam salah satu kitabnya menyinggung Albani dengan sangat keras dan menilainya tidak memiliki pengetahuan agama sama sekali :

يَأْتِى رَجُلٌ فِى هٰذَا الْعَصْرِ لَيْسَ عِنْدَهُ شَيْءٌ مِنَ الْعِلْمِ وَيَقُوْلُ أَذَانُ الْجُمْعَةِ الْأَوَّلُ بِدْعَةٌ لِأَ نَّهُ لَيْسَ مَعْرُوْفًا عَلىٰ عَهْدِ الرَّسُوْلِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَيَجِبُ أَنْ نَقْتَصِرَ عَلَى الْأَذَانِ الثَّانِيْ فَقَطْ فَنَقُوْلُ لَهُ إِنَّ سُنَّةَ عُثْمَانَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُنَّةٌ مُتَّبَعَةٌ إِذَا لَمْ تُخَالِفْ سُنَّةَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَمْ يَقُمْ أَحَدٌ مِنَ الصَّحَابَةِ الَّذِيْنَ هُمْ أَعْلَمُ مِنْكَ وَأَغْيَرُ عَلىٰ دِيْنِ اللهِ بِمُعَارَضَتِه وَهُوَ مِنَ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِّـيْنَ، الَّذِيْنَ أَمَرَ رَسُوْلُ الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِاتِّبَاعِهِمْ (الْعُثَيْمِينْ شَرْحُ الْعَقِيدَةِ الْوَاسَطِيَّةِ ص/638)
   “Ada seorang laki-laki dewasa ini yang tidak memiliki pengetahuan agama sama sekali mengatakan, bahwa adzan Jum’at yang pertama adalah bid’ah, karena tidak dikenal pada masa Rasul saw, dan kita harus membatasi pada adzan kedua saja. Kita katakana pada laki-laki tersebut : Sesungguhnya sunnahnya Utsman ra, adalah sunnah yang harus diikuti apabila tidak menyalahi sunah Rasul saw, dan tidak ditentang oleh seorangpun dari kalangan sahabat yang lebih mengetahui dan lebih ghirah terhadap agama Allah dari pada kamu (Albani). Beliau Utsman ra, termasuk Khulafaur Rasyidin yang memperoleh petunjuk, dan diperintahkan oleh Rasulullah saw, untuk diikuti”. (Al-‘Utsaimin, Syarh Al-‘Aqidah Al-Wasithiyyah, halaman 638).

    Jadi pernyataan Syekh Al-Utsaimin yang menilai Albani “tidak memiliki pengetahuan agama sama sekali” dapat meruntuhkan nilai buku-buku yang banyak mengambil dalil dari Albani, di antaranya adalah buku “mantan kiai NU menggugat shalawat & dzikir syirik” dan buku-buku lainnya yang telah ditulis oleh H. Mahrus Ali. Apalagi dengan fatwanya yang mengharuskan orang shalat tanpa alas (sajadah, karpet, keramik, marmer dll). Dengan demikian dapat kita katakana dia tidak menyetujui (menyalahkan) orang-orang yang shalat dengan alas. Lalu bagaimana shalatnya orang di masjid Haram dan masjid Nabawi?. Untuk itu bagi orang yang mempercayai buku-buku dan pendapat H. Mahrus Ali, seharusnya shalatnya juga tanpa alas sesuai yang dia fatwakan. Beranikah? Allahu a’lam.

    Apa yang dikatakan Al-Utsaimin terhadap Albani memang tidak berlebihan. Banyak orang yang tertipu dengan karya-karya Albani dalam bidang ilmu hadits, karena belum mengetahui siapa sebenarnya Albani itu. Pada mulanya, Albani adalah seorang tukang jam. Ia memiliki kegemaran membaca buku. Dari kegemarannya ini, ia curahkan untuk mendalami ilmu hadits secara otodidak, tanpa mempelajari hadits dan ilmu agama yang lain kepada para ulama, sebagaimana yang menjadi tradisi ulama salaf dan ahli hadits. Oleh karena itu Albanni tidak memiliki sanad hadits yang mu’tabar.

      Maka hadits-hadits yang menjadi hasil kajiannya sering bertentangan dengan pandangan ulama ahli hadits. Tidak jarang Albani menilai dha’if (lemah) dan maudhu’ (palsu) terhadap hadits-hadits yang disepakati keshahihannya oleh para hafidz, hanya dikarenakan hadits tersebut berkaitan dengan dalil tawassul. Salah satu contoh misalnya, dalam kitab At-Tawassul Anwa’uhu wa Ahkamuhu (cetakan 3 halaman 128), Albani mendha’ifkan hadits A’isyah yang diriwayatkan oleh Al-Darimi dalam Al-Sunannya, dengan alasan dalam sanad hadits tersebut terdapat perawi yang bernama Sa’id bin Zaid, saudara Hammad bin Salamah. Padahal dalam kitabnya yang lain, Albani sendiri telah menilai Sa’id bin Zaid ini sebagai perawi yang hasan dan jayyid haditsnya, yaitu dalam kitab Irwa’ Al-Ghalil (5/338). Albani mengatakan tentang hadits yang dalam sanadnya terdapat Sa’id bin Zaid “Aku berkata, ini sanad yang hasan, semua perawi dapat dipercaya sedangkan perawi Sa’id bin Zaid -saudara Hammad-, ada pembicaraan yang tidak menurunkan haditsnya dari derajat hasan. Dan Ibn Al-Qayyim mengatakan dalam Al-Furusiyyah, “ini hadits yang sanadnya jayyid”.

Dan masih banyak lagi kontroversial dan ketidak akuratan yang dilakukan Albani dalam kitab yang satu dengan kitab yang lainnya. Dalam tulisan Syekh Hasan bin Ali Al-Saqqaf yang berjudul Tanaqudhat Al-Albani Al-Wadhihat merupakan kitab yang menarik dan mendalam dalam mengungkapkan kesalahan fatal Albani tersebut. Beliau mencatat 1500 kesalahan yang dilakukan Albani lengkap dengan data dan faktanya. Bahkan menurut penelitian ilmiah beliau, ada 7000 kesalahan fatal dalam buku-buku yang ditulis Albani. Sehingga kita perlu berhati-hati dan mencermatinya. Allah lebih mengetahui.
  


    

1 komentar: