Jumat, 04 September 2015

Cara memahami teks Al-Qur'an atau Hadits





Untuk dapat memahami sebuah ayat dengan benar, kita harus mempelajari asbabul nuzul (sebab-sebab turunnya) Al-Qur’an pada ayat tersebut dan juga bagaimana penafsiran para ulama tentang ayat itu. Begitu pula ketika kita hendak memahami sebuah hadits, kita harus bertanya kepada para ulama. Sesungguhnya tidak semua ayat atau hadits dapat diartikan secara langsung sesuai dengan makna lahiriah-nya atau teks yang tertulis. Orang yang bersikukuh hanya mau memahami sebuah ayat atau hadits sesuai dengan teks yang tertulis (makna lahiriyahnya), dan tidak mau menerima penafsiran para ulama, suatu saat ia akan mengalami kebingungan, seperti hadits-hadits di bawah ini :

لاَصَلَاةَ لِجَارِ الْمَسْجِدِ إِلاَّ فِى الْمَسْجِدِ
“Tidak ada shalat bagi tetangga masjid kecuali (yang dilakukan) di dalam masjid”.

لاَصَلَاةَ  بِحَضْرَةِ الطَّعَامِ
“Tidak ada shalat dengan (tersedianya) makanan”.

وَاللهُ لَا يُؤْمِنْ  وَاللهُ لَا يُؤْمِنْ  وَاللهُ لَا يُؤْمِنْ، قِيْلَ : مَنْ يَا رَسُوْلَ اللهِ ؟ قَالَ : مَنْ لَمْ يَأْمَنْ جَارَهُ بَوَا ئـِقَهُ
“Demi Allah tidak beriman, demi Allah tidak beriman, demi Allah tidak berima. Ada yang bertanya : Siapakah wahai Rasulullah? Nabi bersabda : Orang yang tidak menyelamatkan tetangganya dari gangguannya”.

لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ قَتَّاتٌ
“Tidak akan masuk surga pengadu domba”.
لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ قَاطِعُ رَحِمٍ، وَعَاقَ لِوَالِدَيْهِ
“Tidak akan masuk surga pemutus hubungan tali persaudaraan. Dan orang yang durhaka kepada kedua orang tuanya”.

لَا يُؤْمِنُ اَحَدُكُمْ حَتّٰى يُحِبُّ لِأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ
“Tidak beriman salah seorang di antara kalian sebelum ia mencintai  saudaranya seperti ia mencintai dirinya sendiri”. (H.R. Bukhari, Tirmidzi, Nasa’i, Ibnu Majah dan Ahmad)
لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَمْ يَتَغَنَّ بِالْقُرْآنِ
“Bukan dari golongan kami seseorang yang tidak membaca Al-Qur’an dengan suara yang baik (merdu)”. (H.R. Bukhari, Abu Dawud, Ahmad dan Darimi)

اَلْوِتْرُ حَقٌّ فَمَنْ لَمْ يُوْتِرْ فَلَيْسَ مِنَّا
“Shalat witir itu benar, maka barang siapa tidak menunaikan shalat witir, ia bukan dari golongan kami”. (H.R. Abu Dawud dan Ahmad)

            Jika kata tidak dan bukan dari golongan kami dalam beberapa hadits di atas tidak dijelaskan, tidak ditafsirkan, lalu bagaimana nilai bacaan Al-Qur’an kita. bagaimana jika tidak berada dalam golongan Nabi dan para sahabatnya, kita berada dalam golongan (kelompok) siapa? Oleh karena itu, hadits di atas dan sejenisnya perlu dan harus ditafsirkan dengan hadits yang lain, sehingga kita tidak salah memahami ucapan Nabi Muhammad saw. Para ulama menyatakan bahwa kata Tidak dalam hadits di atas artinya adalah Tidak sempurna. Dalam hadits itu ada kata “sempurna” yang tidak diucapkan Nabi saw. karena telah dipahami oleh para sahabat. Sedangkan kata Bukan dari golongan kami artinya Bukan dari golongan terbaik kami. Dalam hadits ini ada kata “Terbaik” yang juga tidak diucapkan oleh Nabi saw. karena telah dipahami oleh para sahabat.

Juga seperti hadits di bawah ini :

           
عَنْ أَبِى سَعِيْدٍ الْخُدْرِىِّ  رَضِىَ اللهُ عَنْهُ  أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  قَالَ  غُسْلُ يَوْمِ الْجُمُعَةِ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُحْتَلِمٍ
Dari Abi Sa'id Al-Khudri ra, bahwasanya Rasulullah saw bersabda : Mandi Hari JUm'at itu wajib atas setiap orang yang sudah baligh. (H. R. Bukhari no. 879)

Hadits di atas juga tidak boleh kita pahami dengan apa adanya teks, seperti kata wajib di atas bukan lah wajib seperti hukum wajib dalam hukum Islam yang mana bila kita lakukan kita mendapat pahala dan bila kita tinggalkan kita berdosa. Menurut beberapa ulama, wajib dalam hadits ini bermakna sunah atau lebih tepatnya berkenaan dengan moral atau akhlak yang mulia, maksudnya mandi pada hari jum'at sangat dianjurkan pada setiap orang yang sudaah baligh, terutama yang mau berangkat ke shalat jum'at, hal ini juga di dasarkan pada hadits nabi :

عَنْ اَبِى هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنِ اغْتَسَلَ يَوْمَ الْجُمْعَةِ غُسْلَ الْجَنَابَةِ ثُمَّ رَاحَ فَكَاَ نَّمَا قَرَّبَ بَدَنَةً وَمَنْ رَاحَ فِى السَّاعَةِ الثَّانِيَةِ فَكَاَنَّمَا قَرَّبَ بَقَرَةً وَمَنْ رَاحَ فِى السَّاعَةِ الثَّالِثَةِ فَكَاَنَّمَا قَرَّبَ كَبْشًا اَقْرَنَ وَمَنْ رَاحَ فِى السَّاعَةِ الرَّابِعَةِ فَكَاَنَّمَا قَرَّبَ دَجَاجَةً وَمَنْ رَاحَ فِى السَّاعَةِ الْخَامِسَةِ فَكَاَنَّمَا قَرَّبَ بَيْضَةً فَاِذَا خَرَجَ اْلاِمَامُ حَضَرَتِ الْمَلآئِكَةُ يَسْتَمِعُوْنَ الذِّكْرَ. رواه البخـارى 
Dari Abu Hurairah ra. Beliau berkata, bahwa Rasulullah saw. bersabda : “Siapa yang mandi hari jum’at seperti mandi jinabat, kemudian dia pergi ke jum’atan (sebagai orang yang pertama-tama datang), sama halnya seperti orang yang berkurban seekor unta, dan siapa yang datang pada saat yang kedua, sama halnya seperti orang yang berkurban seekor sapi, dan siapa yang datang pada saat yang ketiga, sama halnya seperti orang yang berkurban seekor biri-biri yang bertanduk, dan siapa yang datang pada saat keempat, sama halnya seperti orang yang berkurban seekor ayam, dan siapa yang datang pada saat yang kelima, sama halnya seperti orang yang berkurban sebutir telur. Apabila imam telah naik mimbar, maka malaikat yang hadir ikut pula mendengarkan khutbah".  (H. R. Bukhari no. 881)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar